-->

Ingatanku Tentang Asrullah Beberapa Tahun Silam

Asrullah

Ingatanku tergelitik pada beberapa tahun silam, ketika nama Asrullah begitu ramai diperbincangkan.

Tokoh muda satu ini dinilai sebagai sosok yang memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin di tanah moyangku — tanah kelahiranku yang kini kutulis dengan kerinduan — Kabupaten Tolitoli.

Namanya kerap terdengar di mana-mana: di media sosial, di warung kopi, di pos ronda, bahkan di tongkrongan anak-anak muda yang gemar berdebat tanpa arah. Ia seolah menjadi magnet pembicaraan di setiap sudut kota.

“Asrullah akan maju berpasangan dengan seorang pengusaha kaya dalam perhelatan Pemilihan Bupati Tolitoli 2020 nanti,”

begitulah bisik-bisik yang beredar kala itu, menjadi buah bibir yang tak kunjung reda.

Aku mengenalnya pertama kali pada sebuah acara yang digelar oleh perusahaan MLM di losmen Iloheluma. Kalau ingatanku tak keliru, perusahaan itu bernama Flexter, dengan produk utama berupa pulsa dari berbagai operator seluler.

Saat itu, Asrullah tampil di hadapan kami menyampaikan testimoninya sebagai salah satu anggota. Dari sanalah awal pertemanan kami bermula.

Kala itu kami masih sangat muda — masih unyu-unyu, meminjam istilah anak zaman itu. Kami sama-sama menempuh pendidikan tinggi: aku di Universitas Madako Tolitoli, sementara Asrullah di STIE Mujahidin Tolitoli.

Aku sudah semester lima, sedang ia setingkat di atasku. Ketika itu, Asrullah menjadi panitia dalam Basic Training LK I HMI, sedangkan aku menjadi salah satu pesertanya.

Sejak saat itu, pertemanan kami kian erat. Hingga akhirnya, Asrullah terpilih menjadi Ketua HMI Cabang Tolitoli.

Kami bahkan sempat tinggal serumah — di rumah kontrakan yang dijadikan sekretariat Himpunan Mahasiswa Islam.

Kami tinggal di sekretariat bukan karena pilihan, melainkan karena keadaan. Maklum, kami anak desa yang hidup serba pas-pasan. Tak seperti mahasiswa lain yang mendapat sokongan dana dari orang tua, kami harus berjuang dengan cara kami masing-masing demi melanjutkan kuliah.

Aku bekerja sebagai penggali tambang di tambang emas rakyat di Kecamatan Lampasio, sementara Asrullah memilih menjadi nelayan dengan perahu dayung kecilnya.

Ia menolak ikut menambang, katanya karena itu merusak alam. Aku pun enggan ikut melaut bersamanya — perahunya terlalu kecil untuk dua orang.

Sebagai Ketua HMI Cabang Tolitoli, Asrullah dikenal teguh menjaga marwah organisasi. Ia menegakkan independensi HMI dengan penuh keyakinan, meski sikap itu membuat banyak pihak yang berkepentingan merasa tidak senang.

Pendiriannya yang kokoh berdampak pula pada pembiayaan organisasi. Puncaknya, kami diusir dari rumah kontrakan.

HMI pun terpaksa menumpang sementara di Kantor LBH Progresif Tolitoli. Hingga akhirnya, seorang senior — yang kala itu menjabat sebagai Wakil Gubernur Sulawesi Tengah — membantu mencarikan dan mengontrakkan rumah baru yang lebih besar untuk sekretariat HMI Cabang Tolitoli.

Di sekretariat baru itulah Asrullah menuntaskan masa baktinya sebagai ketua, beberapa bulan setelah ia meraih gelar Sarjana Ekonomi.

Selepas itu, ia mengabdi di kampusnya sendiri, di STIE Mujahidin Tolitoli, sementara aku memilih merantau ke Kalimantan, menapaki jalan hidupku sendiri.

Waktu berlalu begitu cepat. Hingga pada tahun 2014, kudengar kabar gembira: Asrullah dipercaya rakyat Tolitoli untuk mewakili mereka di parlemen.

(Bersambung.....)

Tahun demi tahun berlalu, dan kabar tentang Asrullah terus sampai kepadaku — kadang lewat kawan lama, kadang dari berita yang muncul di beranda media sosial.

Setiap kali namanya disebut, ada semacam kebanggaan kecil yang menghangat di dada: rasa haru melihat seorang sahabat yang dulu berjuang dengan perahu kecil di pesisir Tolitoli, kini benar-benar mengarungi samudra kehidupan yang lebih luas.

Pada Pemilu tahun 2019, Asrullah kembali terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Tolitoli dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Kali ini, perolehan suaranya membludak — berkali lipat dari sebelumnya.

Rakyat semakin percaya padanya, seakan rekam jejak kejujurannya selama ini telah menanam benih kepercayaan yang kini tumbuh menjadi pohon rindang di hati masyarakat.

Ia tetap rendah hati seperti dulu: berbicara dengan tutur lembut, mendengar dengan penuh kesungguhan, dan bertindak tanpa banyak riuh.

Sikap itu, barangkali, yang membuatnya berbeda dari kebanyakan politisi. Ia tidak berlari mengejar panggung, melainkan berjalan tenang, memastikan setiap langkahnya berpijak di tanah yang benar.

Lalu tibalah Pemilu 2024.

Kali ini kabar itu datang dengan nada yang lebih membanggakan — Asrullah terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, mewakili daerah pemilihan Tolitoli–Buol.

Dari tanah yang dulu ia perjuangkan sebagai aktivis muda, kini ia membawa suaranya ke ruang yang lebih luas, tempat kebijakan tak lagi sekadar wacana, melainkan amanah besar untuk memperjuangkan nasib banyak orang.

Dan di tengah kabar baik itu, aku tersenyum mengenang perjalanan hidupku sendiri.

Aku kini telah kembali ke tanah Sulawesi, bukan lagi sebagai perantau di Kalimantan, melainkan sebagai aparatur sipil negara di Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Parigi Moutong.

Meski langkah kami menempuh jalan berbeda, aku merasa takdir masih menautkan benang halus antara aku dan sahabat lamaku itu — kami sama-sama berjuang dalam ruang pengabdian yang berbeda, namun berlandaskan semangat yang sama: membangun kejujuran dan menegakkan amanah rakyat.

Aku membayangkan wajahnya yang dulu penuh semangat di ruang sempit sekretariat HMI; kini, semangat itu tetap menyala, hanya saja lampunya telah berpindah — menerangi lebih banyak ruang, menjangkau lebih banyak jiwa.

Di balik jas formal dan rapat-rapat resmi, aku yakin masih ada jiwa nelayan yang sederhana, yang tahu betul arti ombak, sabar menunggu angin baik, dan tetap setia pada arah bintang.

Mungkin begitulah jalan hidup yang telah digariskan untuknya: dari perahu kecil di pantai Tolitoli, ia berlayar menuju samudra luas yang bernama pengabdian.

Dan di setiap hembusan angin politik yang datang dan pergi, aku selalu berharap — semoga Asrullah tetap menjadi dirinya yang dulu: seorang sahabat yang jujur, pejuang yang teguh, dan anak desa yang tak pernah lupa pada asalnya.

(....TAMAT....)


LihatTutupKomentar