Dimasa tua, di usia yang sudah lebih dari setengah abad, perempuan sepuh itu tetap dituntut bekerja seorang diri.
Pasalnya, Kakek Ahmad Mukhid, pasangan hidupnya, lelaki hebat yang dicintainya, rekan setianya mengarungi samudra kehidupan bersamanya, kini hanya bisa terbaring lemas. Lumpuh terserang stroke.
Anak-anaknya juga tak bisa dihubungi. Pasca kerusuhan Sambas hingga dirinya terdampar di Buta Totori (Tanah Tolitoli), sudah tak pernah ada kontak lagi.
Nenek Sutira menggantungkan hidup dengan memulung. Sebuah pekerjaan super berat bagi seorang perempuan renta seperti dirinya.
Namun, sudah beberapa bulan terakhir ia terpaksa berhenti karena harus mengurus suami yang sakitnya makin parah.
Sebelumnya, suami Nenek Sutirah pernah mendapat perawatan medis di RSUD Mokopido.
"Tapi, bapaknya ndak mau lagi dibawa kesana, takut katanya", sebut Nenek Sutirah.
Ketakutan suami Nenek Sutirah bukan tanpa alasan.
Meskipun memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS), perawatan yang didapatkannya selama dua minggu tetap harus dibayar dengan rupiah.
Pasalnya Kakek Ahmad Mukit didaftarkan sebagai pasien umum.
"Namanya juga nenek-nenek, sudah bingung, ndak tau itu mana rawat umum mana rawat gratis", keluhnya.
Kakek Ahmad Mukhid, suami Nenek Sutirah terbaring sakit |
Kehidupan nenek asal Madura itu sangat jauh dari kata cukup.
Rumahnya yang tak layak disebut rumah di Jalan Veteran 1 Kelurahan Baru, berjarak hanya beberapa langkah dari Kantor Dinas Perumahan Rakyat Kabupaten Tolitoli dapat membuat setiap orang yang melihat mengelus dada.
Bangunannya sempit, reyot dan berkarat. Tanpa jendela, tanpa ventilasi. Didalamnya hanya ada tempat tidur beralas kardus yang dirangkai seadanya hingga menyerupai ranjang.
"Kalau siang begini panas sekali, tapi sudah sukur ada tempat berteduh", tuturnya.
Nenek Sutirah adalah tipe orang bermental baja. Meski hidup terlunta-lunta dan serba kekurangan, Beliau tidak mau menerima belas kasihan orang begitu saja.
Usman Ali, advokat Lembaga Bantuan Hukum Progresif (LBHP Tolitoli) yang saat itu akan memberinya uang, ditolaknya.
Dipaksapun ia tidak mau. Berkali-kali Usman Ali menawarkan, bahkan berusaha menyelipkan uang disaku banjunya.
"Jangan Nak, beli saja becak ku itu", katanya.
Terpaksa kami putuskan membawa becaknya kebengkel tempat tempat jual-beli kendaraan bekas di Jl. WR Supratman. Usman Ali yang mengayuh. Saya dan Maddi bersepeda motor. Maddi mengawal dari dibelakang, saya di depan. Takut nanti abang becak dadakan masuk got atau bersenggolan dengan kendaraan lain.
Alhamdulillah...! Becaknya laku Rp 200.000, namun Usman Ali menggenapkannya menjadi Rp 500.000 dan diterima Nenek Sutirah dengan ucapan "terima kasih" berkali-kali.