-->

Fakta Unik Kabupaten Tolitoli

Kabupaten Tolitoli


Mendengar nama Kabupaten Tolitoli, hal pertama yang mungkin terlintas di benak banyak orang adalah Bupati VS Wakil Bupati.

Memang semenjak video pertengkran hebat Bupati dan Wakil Bupatinya viral beberapa waktu lalu di situs berbagi video Youtube, nama Tolitoli kian rami diperbincangkan warga net di dunia maya.

Kabupaten berjarak 353 kilo meter dari Kota Palu ini selain memiliki pemimpin unik juga terdapat beberapa fakta unik lainnya yang perlu Sahabat Dakoan.com ketahui.

1. Bantilan, marga keturunan Raja Tolitoli banyak digunakan sebagai nama belakang di Filipina.

Orang-orang Filipina banyak menggunakan nama bantilan sebagi nama belakang mereka. Bahkan di Sulu salah satu propensi berotonomi khusus di Filipina, mirip Daerah Istimewa Jogjakarta di Indonesia, salah seorang raja nya bernama Raja Muda Datu Bantilan kakek moyang dari Raja Sulu saat ini, Sultan Bantilan Mu'izzudin II.

Demikian juga ajang pemilihan ratu kecantikan di Filipina, Miss Maui Pageant pada kontes tahun 2011 pernah menobatkan seorang ratu kecantikan memiliki nama belakang Bantilan. Nama lengkapnya Shelby Bantilan.

2. Orang Tolitoli keturunan dari manusia khayangan.

Nama Tolitoli berasal dari kata tololu dalam bahasa Tolitoli berarti tiga. Ini berdasarkan sebuah legenda. Diceritakan bahwa tiga mahluk khayangan turun ke bumi lalu menjelma menjadi manusia.

Ketiganya yakni Tamadika Dei Galang, Tamadika Dei Baolan dan seorang bidadari yang disebut Boki Bulan.

Tamadika Dei Baolan kemudian menikahi Boki Bulan. Anak - cucu mereka berdualah yang sekarang dikenal denga Tau Totoli atau Orang Tolitoli, suku / etnis Tolitoli.

3. Di Tolitoli pernah terjadi peristiwa heroik pada tahun 1919

Peristiwa heroik tersebut dikenal dengan istilah Pemberontakan Rakyat Tolitoli 1919. Tepatnya tanggal 5 Juli tahun 1919 terjadi di Desa Salumpaga, lima puluh kilo meter dari ibu kota Kabupaten Tolitoli.

Perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Imam Haji Hayun itu dipicu oleh ketidak puasan rakyat terhadap dua kebijakan pemerintah kolonial hindia belanda, yakni bleasting (Pajak) dan heerendients (Kerja Paksa).

Masyarakat salumpaga merasa dua kebijakan itu sangat memberatkan. Kebikan bleasting dibebankan kepada setiap keluarga berdasarkan kepala, artinya keluarga yang banyak anggotanya terpaksa harus membayar upeti yang banyak pula.

Sementara kebijakan heerendients mewajibkan kepada setiap orang dewasa melakukan kerja paksa selama empat hari setiap bulan. Kebetulan waktu itu bertepatan Bulan Ramadhan, masyarakat Salumpaga meminta agar kewajiban kerja paksa mereka ditunda untuk menjalankan ibadah puasa.

Namun permintaan tersebut tidak diindahkan pemerintah kolonial. Justru Controlir De Cat Angelino yang bertugas di Tolitoli waktu itu malah datang membawa polisi dan menangkap para pekerja paksa yang mendapat giliran kerja.

Dengan teriakan "Allahu Akbar" dari Imam Haji Hayun. Warga lansung menyerbu rombongan Controlir De Cat Angelino.

Meskipun pemberotakan di Tolitoli hanya berskala lokal dan terbilang perlawanan kecil namun cukup membuat kepala Pemerintah Kolonial pusing tujuh kelieling.

Sebagai tindak lanjutnya pemerintah melakukan penyelidikan dan menyeret nama Abdul Muis serta menuduh Syarikat Islam sebagai pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa pemberontakan tersebut.
LihatTutupKomentar